![]() |
Banten, Kominfo.co.id. Baru-baru ini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Yandri Susanto, menjadi sorotan publik setelah pernyataannya yang kontroversial menyebut "wartawan dan LSM Bodrex" beredar luas di media sosial. Dalam video yang viral tersebut, Yandri menuding bahwa sejumlah wartawan dan LSM sering mengganggu kepala desa dengan meminta uang sebesar satu juta rupiah. Ia bahkan mengusulkan agar pihak kepolisian dan kejaksaan menindak tegas oknum-oknum tersebut.
Pernyataan ini segera memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama dari komunitas wartawan dan LSM di seluruh Indonesia. Mereka menilai bahwa pernyataan Yandri tidak hanya merendahkan profesi mereka, tetapi juga berpotensi mengaburkan peran penting wartawan dan LSM sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan.
Babay Muhedi, Koordinator Perkumpulan Aktivis Aliansi PAMUNGKAS Banten, menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan tersebut. Ia menegaskan bahwa jika memang ada oknum wartawan atau LSM yang melakukan tindakan tidak terpuji, seharusnya dilaporkan melalui jalur hukum tanpa perlu menggeneralisasi seluruh profesi. "Kami ini mitra pemerintah yang harus dirangkul, bukan disudutkan," tegas Babay .
Senada dengan itu, Aminudin, Ketua Koalisi Lembaga Banten Bersatu (KOLEBBAT) Provinsi Banten, menekankan bahwa pernyataan Yandri dapat menciptakan stigma negatif terhadap wartawan dan LSM yang selama ini berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Ia menantang Yandri untuk menunjukkan bukti konkret jika memang ada oknum yang melakukan kesalahan, tanpa harus menuding secara umum.
Menanggapi kontroversi yang berkembang, Yandri Susanto memberikan klarifikasi bahwa pernyataannya tidak ditujukan kepada seluruh wartawan dan LSM, melainkan hanya kepada oknum-oknum yang menyalahgunakan profesinya untuk melakukan pemerasan. Ia menegaskan bahwa kritiknya muncul dari kasus-kasus di lapangan di mana oknum wartawan dan LSM mengaku sebagai pihak yang berwenang dan melakukan tindakan yang merugikan masyarakat serta pejabat desa. Yandri menekankan pentingnya menjaga integritas profesi dan menghindari penyalahgunaan wewenang .
Namun, klarifikasi tersebut belum meredakan kemarahan publik. Syamsul Bahri, Ketua Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Banten, menilai ucapan Yandri sangat tidak pantas dan menyakitkan hati para wartawan dan LSM. Ia menekankan bahwa semua wartawan telah dilengkapi dengan surat tugas dan kartu pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Syamsul menyarankan agar Yandri menggunakan istilah "oknum" untuk merujuk pada individu yang melakukan kesalahan, tanpa merugikan reputasi profesi jurnalistik secara keseluruhan .
Lebih lanjut, Junaedi Abdul Rasyid, Ketua Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Wilayah Maluku Utara, mendesak Yandri untuk segera memberikan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka kepada insan pers. Ia menegaskan bahwa penggunaan istilah "wartawan Bodrex" sangat tidak pantas dan mencederai kemerdekaan pers di Indonesia. Junaedi juga menekankan bahwa wartawan bukan musuh atau alat politik, melainkan mitra dalam membangun transparansi informasi yang akurat dan terpercaya bagi masyarakat .
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sikap pemerintah terhadap peran kontrol sosial yang dilakukan oleh wartawan dan LSM. Sebagai pilar keempat demokrasi, wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan kebenaran dan fakta kepada masyarakat. Pernyataan yang merendahkan profesi ini tidak hanya mencederai semangat demokrasi, tetapi juga berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tingkat desa.
Oleh karena itu, banyak pihak yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil tindakan tegas terhadap Yandri Susanto. Mereka menuntut agar Yandri dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dan digantikan dengan sosok yang lebih menghargai peran wartawan dan LSM dalam pembangunan bangsa. Langkah ini dianggap penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menjunjung tinggi kebebasan pers dan mendukung peran kontrol sosial dalam sistem demokrasi.
Selain itu, insiden ini juga menjadi momentum bagi wartawan dan LSM untuk semakin memperkuat integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, mereka dapat terus berperan sebagai pengawas yang efektif terhadap jalannya pemerintahan dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, kontroversi ini mengingatkan kita semua akan pentingnya saling menghormati peran dan fungsi masing-masing dalam sistem demokrasi. Pemerintah, wartawan, dan LSM harus dapat bekerja sama secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mewujudkan Indonesia yang lebih baik, transparan, dan bebas dari korupsi.(Tim)
Komentar0